(Foto): Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke |
KarawangNews.com, Jakarta - Ketum PPWI, Wilson Lalengke mengatakan, bahwa dirinya berharap penerapan hukum di wilayah Lampung bisa lebih baik.
Dijelaskan Wilson Lalengke, menurut korban kriminalisasi Oknum Polres Lamtim tahun 2022 lalu ini, berbagi pengalamannya pada saat dituntut hukuman 10 bulan penjara, akibat perebahan karangan bunga di depan Kantor Mapolres Lampung Timur.
Hal ini disampaikan Wilson Lalengke, menanggapi berita kematian Dosen di Universitas Lampung Eddy Rifa'i.
“Saya dapat kabar orang ini mati tadi siang. Saya bingung ambil sikap, harus sedih, senang atau bagaimana," ungkapnya.
Dalam tanggapannya, harus ada hikmah dari setiap kejadian, entah kebetulan atau memang balasan Sang Pemilik Alam, sambungnya, usai mendzholimi PPWI, faktanya mereka (Oknum Polres, Oknum Kejaksaan, Oknum Hakim, Oknum PWI, Oknum Dewan Pers (DP) dan oknum berkepentingan lainnya, red) satu persatu menerima upahnya, kata Wilson Lalengke, Jumat malam (18/8/2023).
“Mulai dari Ketua DP mati di Malaysia, Saksi Ahli ini mati mendadak di usia yang masih produktif dan Oknum Pengurus PWI Lampung kena OTT lakukan pemerasan Pejabat beberapa waktu lalu. Akhirnya, saya putuskan mendo'akan beliau-beliau itu diberi tempat terbaik di sisi-Nya, amiin,” ujar Wilson Lalengke.
Selanjutnya, Tokoh Pers Nasional ini menjelaskan, bahwa dia sangat menyesalkan peran alm. Eddy Rifa'i dalam menjalankan profesinya sebagai Ahli Hukum di Pengadilan. Pada peristiwa perebahan papan bunga yang isinya melecehkan Wartawan di Mapolres Lamtim pada 11 Maret 2022 lalu, kata Wilson Lalengke, yang layak untuk diproses hukum hanyalah dirinya sendiri.
“Yang saya sesalkan dari si Eddy Rifa'i ini adalah, karena dua rekan saya, Pak Edi Suryadi dan Pak Sunarso, tidak layak dihukum. Yang aktif melakukan perebahan papan bunga dan yang bicara kasar menyinggung perasaan para Gerombolan Polisi itu, adalah saya sendiri. Mereka dan yang lain-lain itu tidak ikutan merebahkan, bahkan menahan agar jatuhnya papan bunga itu pelan dan tidak rusak. Lah si Eddy Rifa'i ini tidak bisa membedakan persoalan hukum yang terjadi, berdasarkan fakta hukum,” terang Wilson Lalengke.
Akibat membawa misi organisasinya, PWI dan titipan pesanan dari DP, kata dia, Pakar Hukum Unila yang bergelar Professor Doktor itu, tidak dapat menjalankan profesinya secara benar. Hal itu sulit diterima akal sehat dan nurani sebagai manusia bermoral.
Diungkapkan Wilson “Saya sulit menerima perlakuan dzholim kepada mereka berdua (Edi Suryadi dan Sunarso, red)," katanya.
" Kepada saya, oke lah, faktanya saya memang yang dianggap merusak papan bunga itu, yang ketika ditanya kerusakannya apa, mereka juga tidak bisa menunjukkannya dengan pasti, karena terkait dengan jumlah kerugian yang diderita, hanya sekian puluh ribu. Si Eddy Rifa'i ini mau saja disetir Polisi Jaki Al-Zakar Nasution itu,” imbuh Jurnalis Senior yang dikenal gigih membela Wartawan dan warga terdzholimi di berbagai tempat ini," tuturnya.
Wilson Lalengke mengaku, bahwa dirinya telah berkali-kali meminta, agar kedua kawannya itu dibebaskan dari segala tuduhan. Dia telah meminta kepada Polisi yang memproses BAP-nya, juga saat tahap P-21, dia juga meminta kepada Jaksa, untuk melepaskan mereka berdua. Demikian juga saat di persidangan, Wilson Lalengke tegas meminta kepada MH, untuk tidak memvonis bersalah keduanya.
“Di Polres, saya sudah minta kedua rekan itu dilepas, saya saja yang diproses, karena memang saya yang secara nyata melakukan perebahan papan bunga. Di Kejari, kepada Kajari dan JPU juga sudah saya minta, agar keduanya dilepas dan saya saja yang lanjut ke persidangan. Di Pengadilan pun saya minta juga, agar Pak Edi dan Sunarso dinyatakan tidak bersalah, saya saja yang divonis bersalah. Namun ketiga institusi itu menolak,” tutur Presiden Permata Indonesia ini menyesalkan.
Mengapa Polisi, Jaksa dan Hakim menolak membebaskan kedua rekannya itu? Disinilah, kata Wilson Lalengke, kelicikan buruk para bangsat Gakkum di wilayah itu, yakni agar unsur yang dipersyaratkan Pasal 170 KUHP bisa terpenuhi. Jika Pasal 170 tidak memenuhi unsur, maka ia dan kawan-kawannya tidak bisa ditahan.
“Inilah peran busuk si alm. Eddy Rifa'i itu, memberikan keterangan ahli yang bukan untuk menghadirkan keadilan, tapi semata-mata untuk memperkuat alibi Polisi, Jaksa dan Hakim, agar saya yang jadi target PWI, DP dan para Oknum Polisi serta Pengusaha Hitam yang selama ini jadi sasaran kritikan saya bersama PPWI bisa ditahan dan secara terpaksa, Negara melalui Hakim bajingan yang tolol itu, harus memberi sanksi pidana penjara kepada saya sebagai targetnya. Saya merasa bersalah dan berutang nyawa kepada kedua rekan saya, Edi Suryadi dan Sunarso. Mereka harus terbawa ke dalam sel karena kebobrokan penerapan hukum di Negara ini,” beber Trainer Jurnalistik yang sudah melatih ribuan Anggota Polri, TNI, Guru, Dosen, PNS, Mahasiswa, Buruh, Pengurus Ormas dan LSM, serta masyarakat umum itu.
Masih menurut Wilson Lalengke, hukum jadi rusak, salah satunya karena ada orang bertitel Profesor Doktor hukum yang tidak konsisten dengan ilmu hukum yang dimilikinya. Pasalnya, keterangan ahli merupakan salah satu unsur yang dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Nah, jika seorang Saksi Ahli bisa disetir-setir, diatur-atur sesuai kepentingan pihak tertentu, maka hukum kita pasti jauh dari kata adil. Saksi Ahli telah masuk dalam jaringan mafia hukum yang menjalankan industri hukum.
“Makanya saya amat berharap, hukum di Lampung lebih baik kedepannya, karena orang yang bisa disetir oleh para Komprador Hukum di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan setempat, sudah mati satu. Semoga kematian Eddy Rifa'i yang meninggalkan jejak hitam di dunia akibat perangainya yang mempermainkan hukum itu, jadi pelajaran bagi Pakar Hukum lainnya di Negara ini, khususnya di Lampung,” ucap Wilson Lalengke berharap. (Red)