Oleh: Jaa Maliki
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam As-shiddiqiyah Karawang
Adalah Asghar Ali Engneer seorang cendikiawan muslim India yang menawarkan gagasan Teologi Kesetaraan Gender (The Rights of Women in Islam,1992) sebagai paradigma terhadap kondisi ketidaksetaraan (gender) yang sudah merasuk dalam segmen kehidupan manusia, persoalan sosial, politik, ekonomi, kultural dan dalam sistem hukum yang mengatur dan mengikat masyarakat.
Bahkan ketidaksetaraan gender memperoleh legitimasi teologis dari tokoh-tokoh agama yang dianggap mempunyai otoritas untuk menafsirkan ajaran agama yang harus ditaati para pemeluknya.
Menurut pandangan Asghar Ali Engneer, walaupun ada konsep superior-inferior dalam teks kitab suci (al-Qur’an), ini harus diletakan pada kerangka perrnyataan kontekstual, bukan pernyataan normatif.
Pernyataan kontekstual itu hanya merespon situasi spesifik di masa lalu (kontruksi realitas). Sementara pernyataan normatif menyangkut aspek yang lebih substantif seperti sistem nilai dan prinsip dasar.
Dalam khazanah pemikian Islam kaya dengan berbagai pemikiran berkenaan dengan kiprah perempuan di ruang publik yang selalu menjadi perbincangan. Paling tidak ada dua tipologi pemikiran Islam kontemporer tentang cara pandang terhadap masalah-masalah perempuan dari sudut metode pendekatan.
Pertama, pembahasan dalam kerangka alur pikir yang bersandarkan pada fiqih baik berkaitan dengan ibadah, hubungan keperdataan maupun masalah publik. Model pemikiran serba fiqih akan menghasilkan penilaian “hitam-putih” yang tentunya bersifat kasuistik.
Kedua, tipologi pemikiran yang memandang bahwa diskursus perempuan bukan sekedar berdasarkan pada fiqih an sich, akan tetapi juga mencakup aspek filsafat, antropologis, sosiologis dan historis.
Dalam ajaran Islam pada prinsipnya tidak membeda-bedakan kualitas dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi pada tataran praktis masih terdapat resistensi dari beberapa kelompok bila perempuan maju menjadi pemimpin, tidak terkecuali pemimpin dalam pemerintahan.
Hal ini tercermin betapa kerasnya penolakan berbagai kalangan terhadap munculnya calon pemimpin perempuan untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.
Seiring dengan perkembangan zaman,modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang sarat dengan konflik bahkan “kotor” dan tidak pantas untuk dimasuki oleh kaum perempuan sudah mulai memudar.
Perlahan tapi pasti gerakan kesetaraan gender telah merubah dan mendobrak tradisi yang selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad yang hanya menempatkan perempuan pada sektor privat (rumah tangga). Dahsyatnya transformasi sosio-kultural, partisipasi perempuan di dunia politik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar lagi.
Berbagai upaya harus selalu dilakukan untuk mengatasi hambatan yang dihadapi perempuan di gelanggang politik, baik hambatan yang bersifat struktural, maupun kultural, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Terdapat bebarapa tantangan dan kendala yang menjadi faktor terhambatnya perempuan untuk tampil di garda terdepan diberbagai bidang, termasuk dalam bidang politik.
Pertama, menyangkut masalah fisik perempuan itu sendiri yang secara kodrati perempuan itu mengandung, melahirkan,dan menyusui. Kondisi seperti ini mau tidak mau telah mengurangi tingkat jelajah dan keleluasaan perempuan untuk aktif secara terus menerus dalam berbagai bidang kehidupan.
Kedua, hambatan teologis yang mana perempuan dipandang sebagai makhluk yang diciptakan untuk lelaki, mendampingi, melayani, dan mengurus keperluannya.
Ketiga, hambatan sosial-budaya, dimana perempuan ditempatkan sebagai sosok yang pasif, lemah, perasa, tergantung dan menerima keadaan. Sebaliknya lak-laki dipandang sebagai sosok yang aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan sebagainya.
Keempat. cara pandang yang dikotomis dimana tugas perempuan dan tugas lak-laki dipertentangkan, perempuan bertugas di rumah (ngurus rumah tangga) sementara laki-laki di luar rumah (mencari nafkah).
Kelima hambatan historis, kurangnya nama perempuan dalam sejarah di masa lalu sering dijadikan legitimasi akan ketidakmapuan perempuan untuk berkiprah sebagaimana halnya laki-laki.
Banyaknya kebijakan dalam bentuk affirmative action yang menjamin hak demokratik perempuan diharapkan mendatangkan perubahan kehidupan perempuan baik hak untuk memilih (righ to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (righ to stand for elections).
Affirmative action merupakan salah satu strategi unuk memberikan perlakukan khusus kepada kaum perempuan untuk meningkatkan keterlibatan dalam dunia politik yang selama ini masih berwajah maskulin.
Pengaruh perempuan dalam dunia politik teramat penting, mengingat saat ini masih terjadiya ketidakseimbangan atau kesenjangan gender (gender gap).
Tampilnya Cellica Nurrachadiana menjadi Calon Bupati Karawang pada Pilkada serentak 9 Desember 2020 menjadi point penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik perempuan di ranah politik.
Begitu juga Cellica Nurrachadiana merepresentasikan sosok perempuan yang telah melampaui hambatan atau penghalang mendasar bagi perempuan yang sudah sekian lama terpolakan dalam strata sosial budaya.
Hambatan dan tantangan yang dihadapi Cellica Nurrachadiana begitu berlapis bukan saja datang dari para kompetitor, juga dari kelompok masyarakat yang masih berpandangan bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, terlindungi, tidak bisa berkompetisi dan pemelihara keharmonisan rumah tangga tidak cocok masuk dalam dunia politik.
Dalam pandangan yang kontra, dunia politik adalah dunia penuh dengan persaingan, penuh manipulatif, membutuhkan jaringan, modal sosial dan ekonomi yang kuat. Begitu juga kontruksi sosial yang menenmpatkan perempuan dalam posisi yang tidak sejajar dengan laki-laki.
Dalam bahasa yang vulgar, dunia politik merupakan ranah maskulin, hanya cocok dengan karakter laki-laki.
Hadirnya Cellica Nurrachadiana dalam gelangang politik lokal Karawang (Pilkada} sejatinya telah melakukan dekonstruksi terhadap pandangan kelompok masyarakat yang serba patriarki.
Bagi Cellica Nurrachadiana bahwa perempuan harus hadir (present) dan memberi makna (influence) dan sebagai pembuat kebijakan (policy maker) yang bermuara pada kesetaraan gender dalam kehidupan demokrasi.
Secara empirik Cellica Nurrachadiana telah teruji dalam memimpin Kabupaten Karawang selama satu periode dan telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan masyarakat Karawang.
Mengakhiri tulisan ini selayaknya bisa dijadikan spirit bagi perempuan pernyataan presiden perempuan pertama Chile, Michele Bachelet, “Jika demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan, tidak menanggapi suara perempuan dan membatasi perkembangan hak-hak perempuan, sesugguhnya demokrasi itu hanya untuk separuh warganya.” [**]