Oleh: Jaa Maliki
Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Asshiddiqiyah Karawang
Minggu (25`10/2020)
BEBEARAPA hari yang lalu, tepatnya hari Selasa, tanggal 13 Oktober 2020, penulis kedatangan Calon Wakil Bupati Kabupaten Karawang H. Aep Syaepuloh untuk bersilaturahmi sekaligus melakukan konsolidasi pasangan nomor urut 2 (Cellica Nurrachadiana-Aep Syaepuloh). Konsolidasi model canvassing yang dilakukan H. Aep (panggilan akrabnya) juga memaparkan visi-misi dan 'road map' dalam upaya memenangkan pasangan nomor urut 2 (The winning heart of the people) pada Pilkada 9 Desember mendatang.
Menjelang akhir selesainya berbincangan (diskusi) penulis mengajukan pertanyaan tentang posisi wakil bupati, 'Bagaimana meyakinkan masyarakat Karawang terkait wakil bupati yang seringkali berbeda pandangan atau bersebrangan (disharmoni) dengan bupati pada masa periode pemerintahan?' Menjawab pertanyaan tersebut, calon wakil bupati ini menjelaskan bahwa, dirinya mengenal ibu Cellica sudah sepuluh tahun dan persiapan menjadi pasangan calon wakil bupati bersama beliau tidak secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses dialektika dan analisa diri yang panjang. Dan sudah menjadi panggilan jiwa sebagai anak bangsa yang lahir dan bertempat tinggal di Karawang ingin memberikan kontribusi yang terukur dan terarah sebagai bentuk terima kasih kepada masyarakat Karawang.
Fenomena perseturuan antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah seringkali muncul ke permukaan di era pemilihan kepala daerah secara paket dan dipilih secara langsung. Dalam catatan Gamawan Fauzi, semasa Menjabat Menteri Dalam Negeri RI selama tahun 2014, ada 971 dari 1.026 atau 94,64 persen hasil Pilkada tahun 2005-2013 terjadi pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Begitu juga menurut Dirjen Otda, Djohermansyah Djohan Pilkada yang mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perpasangan ternyata tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin daerah yang kompak dan serasi dalam mewujudkan visi dan misi yang dijanjikan selama kampanye.
Secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4) menyatakan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Secara eksplisit pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah gubernur, bupati, dan walikota. Dengan kata lain bahwa konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan kepala daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah. Ini artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah jabatan tunggal baik untuk kepala daerah provinsi maupun kabupaten/kota.
Begitu juga pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Pemerintahan daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah adalah unsur penyelenggara pemerintah daerah.
Pasal ini menunjukan bahwa penyelenggara Pemerintah daerah terdiri atas elemen Gubernur untuk provinsi, Bupati untuk Kabupaten dan Walikota untuk kota sebagai elemen eksekutif (tidak menyebutkan wakil). Dalam hal tentang tugas wakil kepala daerah diatur dalam pasal 66 UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 66 tersebut menyatakan secara jelas tugas Wakil Kepala Daerah, walaupun tetap 'dikunci' dengan ayat (3) yang menyatakan “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wakil kepala daerah menandatangani pakta integritas dan bertanggung jawab kepada kepala daerah.
Eksistensi wakil kepala daerah yang secara formal membantu kepala daerah dalam menjalankan tugasnya, juga berdimensi politis untuk memperluas basis dukungan politik kepala daerah di parlemen (DPRD). Namun secara riil politik wakil kepala daerah berasal dari partai politik yang berbeda tentunya mempunyai keinginan untuk membangun partai politiknya agar memenangi pemilu.
Kondisi ini semakin memperkeruh suasana ketegangan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah memunculkan istilah 'matahari kembar' dan pada giirannya semakin menguatkan ketegangan antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah yang masih menjabat.
Maka tidak mengherankan dalam Pilkada yang tadinya dalam satu pasangan, pada Pilkada berikutnya antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi kompetitor baru. Tentunya berbagai kegiatan atau forum-forum kelompok strategis yang dihadiri oleh wakil kepala daerah seringkali dimanfaatkan untuk mengungkapkan keinginan wakil kepala daerah untuk menjadi calon kepala daerah pada pilkada berikutnya.
Pada akhirnya rivalitas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah mengakibatkan kepemimpinan pemerintahan daerah berlangsung tidak kondusif, termasuk situasi dan kondisi birokrasi. daerah.
Pada Pilkada 9 Desember tahun 2020 kehadiran sosok H Aep Syaepuloh sebagai calon wakil bupati Karawang mendampingi dr. Cellica Nurrachadiana merupakan 'starting point' untuk membangun stabilitas dan konfigurasi ranah politik, serta ranah pemerintahan agar efektivitas kerja dalam menggerakan program-program yang dibutuhkan bagi pembangunan daerah dan pengembangan potensi masyarakat Karawang.
Dan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ini mampu menghadirkan pimpinan daerah yang kompak dan serasi dalam mewujudkan visi-misi untuk masyarakat Karawang yang berdaya saing dan berkarakter. [***]