Opini
Oleh: Mahesa Bahagiastra
April 2017
"Kita hendak mendirikan suatu negara "semua untuk semua".. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjad sebuah dasar satu nationale statt," -Bung Karno 1 Juni 1945
SEMENJAK mulai dilegalkan dan diterapkannya pemilihan secara langsung, hingga kini pemilihan langsung secara serentak, politik Identitas seperti kembali menemukan momentumnya. Politik yang mengenyampingkan ligatur identitas anak bangsa bumi putera yang kadung telah dianugerahkan perbedaan sebagai sebuah keniscayaan oleh Allah rabbu Al-idzati.
Politik identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok (Bagir, 2011: 18).
Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan menginstitusinya partisipasi dan keterwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya kebijakan yang diskriminatif dan eksklusif yang pada akhirnya memperkuat alasan kebangkitan politik identitas etnik .
Menurut Barker (2005:217), Karena terdorong perjuangan politik serta minat terhadap filsafat dan bahasa, 'identitas' berkembang menjadi tajuk utama kajian budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisiti, dan orientasi seks, juga tajuk-tajuk lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan rapat dengan politik identitas.
Politik Identitas diasaskan pada esensialisme strategis, dimana kita bertindak seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi tujuan politis dan praktikal tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap gagasan mengenai diri, identitas, komuniti identifikasi (bangsa,etnisiti, seksualitas, kelas, dan lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah fiksi yang menandai pembakuan makna secara temporer, parsial, dan arbitrer. Politik tanpa penyisipan kuasa secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian, persilangan arah, retidakan adalah mustahil.
Seperti diketahui, politik identitas di Indonesia mulai kembali secara vulgar dipertontonkan pada pemilu presdiden 2014 lalu. Saat ini bahkan pilkada di nekleus kota negri kita DKI Jakarta, telah begitu banyak menghabiskan energi bangsa musabab adanya politik Identitas yang merampas kerianggembiraaan berdemokrasi.
Politik Identitas memang selalu identik dengan urusan etnis,ras, budaya, ideologi, agama, juga jender. Sehingga ketika politik Identitas dimunculkan, keceriaan pilkada bukan lagi soal 'kita' melainkan tentang 'kami' versus 'mereka'. Pilkada bukan lagi ruang debateble yang hore bagi rakyat dan simpatisan pendukung calon kepala daerah, melainkan arena caci-mencaci, tuduh-menuduh tentang identitas siapa mewakili identitas siapa.
Dikhawatirkan, politik semacam ini, terus menemukan titik kulminasi momentumnya, apalagi setelah Pilkada DKI, ada Pilkada di Provinsi dan Kabupaten/kota lain yang tidak kalah seksi dari ibu kota, salah satunya Pilkada Jawa Barat 2018 mendatang.
'Politik Identitas' Merawat Keborosan Energi di Masa Lalu
Khazanah politik identitas di Indonesia sudah terjadi di era masa pembuahan-perumusan-pengesahan pondasi kebangsaan kita (Pancasila), masa alot perumusan sila ketuhanan di Pancasila betapapun, sangatlah menghabiskan energi bangsa, walaupun sejatinya sudah selesai pada 18 Agustus 1945 saat sidang PPKI (Yang kemudian pada tahun 1965 issue tersebut kembali diangkat oleh gerbong Bachtiar Natsir besama partai Masyuminya).
Ki Hadi Bagoes Kosoemo, Kiai Wahid Hasyim, 'Teuku Hassan (Aceh), Kasman Singodemedjo(Komandan Peta Jakarta) : (Masuk ketika pembentukan PPKI)' adalah vionir terdepan tokoh pewakil kaum agamis dalam masa BPUPK hingga sidang PPKI pada 18 Agustus yang harus bergulat dalam kompromis panjang dengan para kaum nasionalis.
Dalam masa-masa politik identitas perumusan sila ketuhanan, Soekarno berhasil mensintetiskan segala identitas kekuatan golongan dalam sebuah pemikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia yang merdeka, yang disebut Soekarno pada pidoto sidang BPUK pertama di 1 Juni merupakan Philoshopische Grondlags (dasar falsafah) bangsa kita.
Kembali ke Politik Harapan (Politict of Hope)
Politik Identitas ini, membuat kontestasi Pilkada menjadi lebih mengutamakan emosi ketimbang rasio. Tidak ada diskusi kritis lagi mengenai program-program seperti apa yang ditawarkan oleh para kandidat, tetapi seberapa persuasif para kandidat ini mengulik-ulik emosi calon pemilihnya.
Kewarasan mulai terampas, kepentingan bersama mulai dinomersekiankan, bahasa 'kami' menjadi sebuah utopis. Kita semua lupa, keniscayaan yang telah diberikan tuhan kepada bangsa kita berupa keberagaman, keniscayaan diguthak-gathik-gathuk sedemikian rupa tak ubahnya takdir yang menjadi kendaraan politisir.
Betapapun, pilkada tetaplah pilkada. Kontestasi yang melahirkan pemimpin, dan menang atas daulat rakyat yang menginginkan pemimpin yang bisa mengayomi apapun identitas yang Ia miliki.
Pilkada haruslah menjadi kontetasi pelahir pemimpin yang secara kaffah mengaktualisasi nilai-nilai yangtelah disepakati oleh para pendiri bangsa, untuk setidaknya mencerdaskan dan membuat tenang jiwa dan pikiran rakyatnya.
Lebih jauh lagi, dengan menggali lapis demi lapis lintasan sejarah perjuangan bangsa, kita akan menemukan bahwa warisan terbaik para pendiri bangsa adalah "politik harapan" (Politict of Hope), bukan Politik Identitas yang melahirkan politik ketakutan (Politict of Fear).
Seperti kata Yudi Lati dalam buku 'Negara Pripurna', Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita bukan kehilangan politik identitas, tapi kehuilangan identitas sebagai bangsa Indonesia. (**)