OPINI
Oleh: Ujang Bey S.IP, M.IP
Warga Karawang
Alumni Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
April 2017
Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. (Max Weber).
Proses demokratisasi ditingkatan lokal yang berwujud Pilkada langsung memberi warna tersendiri bagi perkembangan demokrasi di negara Indonesia. Kompetisi pilkada langsung memberikan ruang terbuka bagi masyarakat daerah dalam menentukan setiap pemimpinnya. Saking sakralnya suara rakyat dalam menentukan pemimpinya, maka munculah adagium "vox populi, vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan)".
Hal inilah menjadi motivasi bagi para calon kepala daerah dalam merebut simpati dan dukungan rakyat. Tidak sedikit diantara calon kepala daerah yang berdiri di atas gagasan (visi) dan kreatifitas menjadi pilihan rakyat (mungkin Ridwan Kamil bisa dijadikan contoh), dan tidak sedikit pula calon kepala daerah yang berdiri kokoh di antara kekuatan birokrasi dan finansial dapat menggaet suara mayoritas masyarakat daerahnya, biasanya kemampuan ini dimiliki oleh para calon incumbent (petahana).
Paradigma pilkada langsung sedikit banyak telah mengubah mindset kepala daerah terpilih, terutama harus mampu menyelenggarakan good governance (pemerintahan yang baik). Pemerintahan yang baik lebih beriorientasi pada service (melayani) masyarakat secara luas sebagai pemegang kedaulatan (pemilih).
Dalam mewujudkan pemerintahan yang melayani, kepala daerah harus didukung oleh personel-personel birokrasi disamping mumpuni secara pengalaman, juga harus memiliki kapabilitas dan profesionalisme tinggi. Lelang jabatan dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan personel birokrasi berkualitas, dalam rangka menduduki jabatan atau posisi tertentu yang dianggap strategis.
Langkah dan upaya Pemerintah Daerah Karawang melakukan lelang jabatan patut diapresiasi positif terutama oleh kalangan terdidik masyarakat Karawang. Banyak akademisi daerah, politisi, maupun pengamat pemerintahan daerah agar berperan aktif mengawasi proses seleksi lelang jabatan ini.
Jika salah memilih atau tidak berjalan sesuai prosedur dan mekanisme, maka efek negatifnya akan berimbas terhadap masyarakat Karawang baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena lelang jabatan, bukanlah suatu hal main-main dan bukan juga sebagai sarana menunjukan sikap 'pencitraan' maupun perasaan 'latah' pemimpin Karawang atas fenomena lelang jabatan yang tengah marak terjadi.
Sekadar mencoba membangkitkan kembali ingatan publik Karawang, sejatinya Pemda Karawang pernah melakukan lelang jabatan pada masa Plt Bupati Cellica. Ketika itu, dilakukan untuk mengisi pos jabatan kosong Disdukcatpil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil).
Sempat beredar aroma tidak sedap (smelling) di kalangan pejabat lingkungan Pemda dan masyarakat Karawang, ditambah maraknya pemberitaan media lokal Karawang yang memberitakan lelang jabatan terkesan hanya PHP (Pemberi Harapan Palsu). Hal ini didasari ketika salah satu peserta lelang jabatan yang memperoleh grade nilai tertinggi tidak terpilih, sementara peserta yang mendapat nilai lebih rendah malah terpilih (Lihat Raka 01/04/17, Camat Lemahabang Ikut Lelang Jabatan Lagi Tahun Ini).
Fenomena lelang jabatan tersebut merupakan suatu langkah permulaan yang kurang baik, dan cenderung mengorbankan integritas pansel lelang jabatan. Disamping itu, bisa memicu munculnya opini negatif dari kalangan PNS Pemda Karawang terhadap Bupati Karawang selaku penentu dalam setiap jabatan di lingkungan Pemda Karawang.
Sudah semestinya dampak semacam ini dapat diantisipasi oleh Bupati Karawang, agar para PNS yang memiliki dedikasi tinggi, potensial, dan berkapabilitas berperan serta dalam lelang jabatan yang tengah digelar. Memang rasa keengganan dan hopeless (tidak ada harapan) kerap membayangi para PNS yang tidak memiliki jangkauan emosional dengan pemimpinya, sehingga mereka menguburkan dalam-dalam keinginannya untuk ikut serta dalam perhelatan lelang jabatan, walaupun secara persyaratan mereka memenuhi.
Selama ini ada tiga faktor dominan yang berpengaruh dalam penentuan jabatan birokrasi. Pertama, faktor emosional. Dalam menentukan pejabat birokrasi, seorang pemimpin biasanya melihat faktor emosional yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan atau ikatan emosional secara historis. Faktor emosional ini pengaruhnya sangat kuat dan cenderung mengesampingkan kapabilitas maupun jam terbang (pengalaman) seseorang untuk mengisi jabatan tertentu.
Kedua, faktor ekonomis. Sudah menjadi rahasia umum seorang kepala daerah menentukan pejabat birokrasi berdasarkan ukuran ekonomis (jual beli jabatan). Mahal dan murahnya suatu jabatan birokrasi, tergantung seberapa strategis jabatan itu. Semakin strategis posisi birokrasi yang akan diduduki oleh seseorang, semakin dalam dia harus merogoh kocek.
Coba bayangkan, berdasarkan estimasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), total transaksi jual beli jabatan pada tahun 2016 mencapai Rp 36,7 triliun dengan asumsi untuk jabatan tinggi mulai Rp 250 juta sampai Rp 500 juta. Sikap pragmatis kepala daerah (bupati/walikota) yang diamini oleh para PNS daerah, merupakan faktor pemicu sikap koruptif seorang pejabat. Setidaknya dalam rentang waktu 2010 – 2016 dalam temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) memposisikan aparatur sipil negara paling banyak terjerat kasus korupsi yaitu sekitar 3.417 aparatur sipil negara (ASN) ditetapkan tersangka.
Ketiga, faktor politis. Birokrasi dan politik seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan sukar sekali untuk dipisahkan. Tidak ayal perselingkuhan diantara keduanya kerap terjadi ketika menjelang momentum pilkada/pilwakot. Tidak sedikit pejabat birokrasi ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung jagoannya. Birokrasi biasanya lebih cenderung dijadikan alat politisasi oleh calon kepala daerah incumbent (petahana), terutama pejabat birokrat tertentu ditekankan untuk mengajak bawahannya guna memilihnya.
Dengan kewenangan calon petahana miliki, mudah baginya untuk melakukan mutasi jika ada birokrat yang tidak mendukungnya atau lebih cenderung mendukung pihak lawan. Bahkan ada juga birokrat yang mengambil posisi aman atau bermain dua kaki. Birokrat politis semacam ini penganut pepatah "don't put your eggs in one basket (jangan taruh telur kamu disatu keranjang)". Jika keranjang itu jatuh telur tidak akan pecah semua, artinya siapapun calon kepala daerah yang menang posisi dia akan aman.
Semoga momentum lelang jabatan kali ini, Pemda Karawang tidak terjerumus pada budaya formalitas melainkan lebih menekankan pada budaya profesionalitas dan kinerja. Sehingga dapat mengikis rasa ketakutan PNS Pemda Karawang terhadap tiga hal tersebut di atas yaitu, emosional, ekonomis dan politis. (**)