Bambang Pranowo (kanan) dan Darsono sumedi (kiri) bersama siswa SMK Ristek, test drone terbang di sekolah. |
KarawangNews.com - Lima siswa SMK Ristek Karawang berhasil membuat drone quadcopter dan fixed wing, dua pesawat Unmanned Aerial Vehicle (UAF) ini mereka kerjakan selama 5 bulan di Yogyakarta.
Dijelaskan Ketua Yayasan Gema Cendikiawan Indonesia (YCGI), Bambang Pranowo, didampingi Kepala SMK Ristek, Darsono Sumedi, drone dan fixed wing ini sepenuhnya buatan siswa, hanya ada beberapa komponen yang dibeli melalui online, itu pun komponennya kembali dirakit oleh siswa.
"Kalau dibandingkan dengan buatan pabrik, jelas ada beberapa fitur yang berbeda, tetapi secara fungsi tidak ada bedanya," kata Bambang, Jumat (27/1/2017) siang.
Dia memaparkan, SMK Ristek terus melakukan pengembangan, inovasi menciptakan drone dan fixed wing oleh siswanya ini akan terus ditularkan kepada semua siswa, bahkan kedepan akan membuat drone yang lebih besar.
Sehingga, kegunaannya bisa disesuaikan, bisa difokuskan pada fungsi yang lebih spesifik, misalnya untuk bantuan emergency, bisa melakukan pengiriman dalam hitungan menit dibanding kendaraan yang membutuhkan waktu lama, termasuk bisa digunakan untuk bantuan kemanusiaan.
Sementara, lima siswa yang menciptakan drone dan fixed wing itu diantaranya, Adit Setiawan, Dandi, Muhammad Nuh, Warnacim dan Angga, mereka kelas 11 Elektro, Jurusan Elektronika Industri.
Dijelaskan Muhammad Nuh, kendala saat membuat drone yaitu pada fly control-nya, meski kebanyakan komponen yang dibeli, tetapi mereka kembali merakitnya sendiri, disesuaikan dengan remote control. Selain itu, mereka berjibaku soal distribusi listrik yang harus baik mengalir ke beberapa sirkuit, agar tidak terbakar.
"Setiap komponen yang ditempel di drone ini harus diukur agar pesawat bisa seimbang. Kemudian kita seting semua komponen agar selaras dengan remotnya," kata dia.
Sementara itu, pada saat membuat fixed wing, Adit menjelaskan, yang paling penting mencari titik keseimbangan pesawat, ini betul-betul harus diperhitungkan, penempatan motor baling-balingnya harus miring 3 derajat ke bawah.
"Ketika uji coba terbang, pernah jatuh, patah di bagian belakang badan pesawat," kata Adit.
Diakuinya, meski sudah layak terbang, fixed wing ini masih perlu perbaikan, diantaranya moncong pesawat yang harusnya lebih lonjong. Pada saat diterbangkan, pesawat berbahan gabus ini mampu mengudara dengan kecepatan sekitar 30 km/jam.
Lima siswa ini mengaku, mereka masing-masing bisa membuat kembali dua pesawat UAF ini, hanya saja kocek yang dikeluarkan lumayan besar, hampir Rp 13 juta-an untuk satu pesawat. Namun begitu, ilmu yang mereka peroleh dari praktek kejuruan ini bakal menjadi motivasi membuat pesawat serupa kedepan.
Seperti diucapkan Darsono Sumedi, sekolah menciptakan drone ini akan memacu siswa lebih terampil, lebih berkarya. Mereka sudah mendapat teori sesuai konsentrasi keilmuan sekolah, bisa merangkai drone dan fixed wing.
"Ini bisa menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk mereka, apalagi jika hasil praktek itu bisa dikembangkan lagi, maka akan menjadi peluang usaha," kata Darsono. (spn)