Selasa (10/1/2017)
Opini
Oleh: Siti Rizki Khoerunnisa
Mahasiswi STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN
Jurusan Ahwal syakhshiyyah
SETIAP AGAMA mempunyai hari raya, tak terkecuali Islam, ada dua hari raya dalam Islam, Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri adalah hari raya yang bertepatan dengan tanggal satu bulan Syawal. Setelah satu bulan penuh menahan lapar dan haus dalam sebuah ritual bernama Puasa di bulan Ramadhan, umat Islam merayakan selebrasi yang biasa disebut hari kemenangan itu sebagai penanda sempurnanya kewajiban Ibadah puasa mereka.
Sedangkan Idul Adha merupakan hari raya yang dilakukan di bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah biasa dikatakan sebagai bulan Haji karena Haji adalah ritual keagamaan yang hanya boleh dilaksanakan di bulan tersebut. Dzulhijjah terkadang juga dikatakan sebagai bulan kurban.
Dalam bulan tersebut, umat Islam disunnahkan menyembelih kurban berupa seekor sapi atau kambing. Mitosnya, hewan yang dikurbankan tersebut akan menjadi kendaraan si pengurban ketika di akhirat kelak, ia menunggu antrian untuk dihisab segala amal perbuatannya di padang mahsyar yang digambarkan sebagai tempat yang super luas dan super panas.
Bulan-bulan tersebut adalah salah satu dari satuan bulan dalam kalender Islam. Islam yang mempunyai pedoman kalender sendiri, yaitu kalender Hijriyah atau Qomariyah, mempunyai cara tersendiri untuk menetukan awal bulan yang perhitungannya mengikuti siklus Bulan tersebut. Dikatakan Hijriyah karena tahun tersebut dimulai pada tahun ketika Rasulullah Hijrah ke kota Madinah.
Dikatakan Qomariyah karena tahun tersebut didasarkan pada siklus perputaran Bulan mengelilingi Bumi. Penentuan awal bulan tersebut didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, Shumu li ru'yatahi wa afthiru li ru'yatihi fain ghumma 'alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yauman yang artinya, "Berpusalah karena melihat hilal (tanggal) dan berbukalah (berlebaranlah) kamu karena melihat hilal. Bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya'ban tiga puluh hari".
Hadis ini menjadi dasar peletakan hukum penentuan awal bulan, bahwa awal bulan mau tidak mau harus berdasarkan siklus Bulan yang berotasi mengelilingi Bumi. Syaratnya cukup mudah, cukup dengan melihat hilal dengan melakukan rukyatul hilal pada tanggal 29 Ramadhan. Tetapi setelah ilmu pengetahuan di dunia Islam berkembang lebih maju, ilmu Hisab pun ikut menjadi populer dalam kajian para ilmuan Islam. Ilmu Hisab atau falak mempunyai banyak model dan variasi.
Selain digunakan sebagai alat untuk menetukan awal bulan dalam kalender hijriyah, ilmu Astronomi islami ini juga digunakan untuk mengetahui arah kiblat, gerhana matahari dan bulan, menentukan waktu sholat, dan lain sebagainya. Dalam konteks keindonesiaan, ilmu falak sangat identik dengan penentuan awal bulan kalender Hijriyah.
Hal ini karena rukyatul hilal sudah menjadi agenda tahunan pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini departemen agama, selalu melakukan sidang isbat untuk menentukan awal bulan yang berhubungan dengan Ibadah dalam Islam, yaitu bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhujjah. Masalah timbul ketika terjadi perbedaan dalam penetuan awal bulan tersebut.
Perbedaan itu menimbulkan berbedanya hari raya umat Islam Indonesia. Tak ayal, beberapa kali terjadi sebuah "kelucuan" ketika satu kelompok merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, sedangkan kelompok yang lain masih menahan lapar dan haus di hari tersebut karena harus "menunda" kemenangan mereka di hari berikutnya. Hal ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Banyak orang yang mengatakan bahwa perbedaan itu indah. Tetapi perbedaan dalam penentuan awal bulan ini tidak bisa dimasukkan sebagai salah satu keindahan karena berpotensi menimbulkan perpecahan. Akar masalah Secara garis besar, perbedaan terjadi karena ada perbedaan pemahaman makna rukyah dalam hadis Rasulullah tentang penentuan awal bulan diatas.
Kelompok pertama berpendapat bahwa rukyah dalam hadis tersebut bersifat ta'abbudi-ghaira al-ma'qul ma'na, artinya tidak dapat dirasionalkan. Maka penentuan awal bulan Hijriah mau tidak mau harus menggunakan rukyatul hilal. Adapun hisab digunakan sebagai pembantu agar rukyah bisa dilaksanakan tepat sasaran.
Kelompok yang kedua mencukupkan penentuan awal bulan cukup menggunakan hisab. Walaupun memakai hadis yang sama, tetapi mereka beranggapan bahwa hadis tentang penentuan awal bulan tersebut bersifat ta'aqquli/ma'qul al-ma'na dan mentakwilkan lafal "rukyatihi" dari melihat dengan mata menjadi melihat dengan hati atau dengan ilmu pengetahuan. Hal ini seperti yang dilontarkan Rasyid Rihda dan Hasby Ash-Shiddiqy. Mereka berpendapat, di zaman Rasul ilmu belum berkembang seperti sekarang.
Saat ini, ilmu tentang siklus bulan sudah demikian maju karena penelitian yang dilakukan beratus tahun lamanya. Jadi perhitungan untuk mengetahui awal bulan menggunakan ilmu pengetahuan yang sudah maju merupakan pedoman utama dalam menetukan awal bulan.
Di Indonesia, dua perbedaan tersebut direpresentasikan oleh dua Ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sebenarnya hampir setiap ormas Islam di Indonesia mempunyai badan hisab. Tetapi pada dasarnya mereka bisa dimasukkan dalam NU dan Muhammadiyah berdasarkan pemikiran mereka. Seperti al-Wasilah dan Perti yang bisa dimasukkan dalam kelompok NU dan Persis yang bisa dikatakan "lebih condong" ke Muhammadiyah.
NU dikatakan sebagai kelompok pertama atau penganut Mazhab Rukyah, sedangkan Muhammadiyah merupakan kelompok kedua yaitu Mazhab Hisab. Dalam kajian rukyah NU, apabila dalam hitungan hisab umur bulan 30 hari, tetapi ketika melakukan rukyah yang selalu dilakukan tanggal 29 ternyata bulan bisa terlihat, maka yang ditetapkan adalah hasil rukyah, bukan hisab.
Begitu juga sebaliknya. Kalau penentuan dalam hasil dari perhitungan hisab umur bulan 29 hari, tetapi ketika melakukan rukyah bulan tidak terlihat, maka harus melakukan istikmal. Untuk Muhammadiyah, metode yang dipakai adalah hisab wujudul hilal.
Mengenai konsep wujudul hilal ini adalah berdasarkan garis batas wujudul hilal yang menghubungkan tempat-tempat terbenamnya matahari dan bulan. Awal bulan bisa ditentukan apabila berdasarkan hisab, hilal sudah diatas ufuk walaupun jaraknya nol koma sekian derajat.
Apabila ada yang melakukan rukyah dan bulan tidak terlihat, Muhammadiyah tidak melakukan istikmal karena pada dasarnya bulan sudah wujud, hanya saja tidak terlihat karena suatu hal. Perbedaan mendasar mengenai metode penentuan awal bulan di Indonesia ini menyebabkan masyarakat Indonesia beberapa kali berbeda dalam melaksanakan hari Raya.
Sejarah Sidang Isbat Sejak berdirinya Departemen Agama sekarang Kementerian Agama (Kemenag) pada tahun 1946, penentuan hal yang berkaitan dengan libur nasional yang berkaitan dengan agama Islam diserahkan pada institusi ini, termasuk penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah. Penetapan yang berkaitan dengan hari libur keagamaan itu dilakukan karena di dalam masyarakat terdapat banyak perbedaan mengenai versi rukyah dan hisab. Jadi kebijakan Kemenag itu dilakukan dalam rangka menyatukan persepsi agar hari raya bisa seragam.
Hal itu ditindak lanjuti dengan mengadakan sidang isbat mulai tahun 1962 dan terbentuknya badan hisab rukyah Kemenag pada tahun 1972 (Izzuddin:2007). Dalam setiap Sidang Isbat Kemenag selalu melibatakan berbagai lembaga hisab-rukyah lintas ormas.
Berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi hukm al-hakim ilzamun wa yarfa'u al-khilaf (keputusan hakim/pemerintah mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat) seharusnya semua ormas bisa legowo dengan keputusan sidang isbat, tetapi nyatanya, ketika terjadi perbedaan dengan pemerintah yang dipakai adalah hasil dari keputusan masing-masing ormas.
Memang perbedaan yang terjadi karena perbedaan metode yang digunakan. Ketika NU berbeda dengan pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan 1401 pada 1987 karena pada saat itu Kemenag pertama kali menggunakan metode Imkanur Rukyah Wujudul Hilal. Jadi walaupun bulan tidak terlihat, Kemenag menetapkan awal Ramadha pada 29 April.
Adapun NU melakukan Istikmal dengan menentukan awal Ramadhan 30 April karena bersikukuh dengan metode Rukyatul Hilal-nya. Ketika Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah pun karena perbedaan metode. Sidang isbat untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1418/1998 pertama kali menolak hasil hisab berdasarkan wujudul hilal dan menolak kesaksian hilal yang posisinya lebih rendah dari kriteria imkan ar-rukyat dua derajat.
Muhammadiyah yang tetap menggunakan kriteria wujudul hilal pun melakukan Hari Raya Idul Fitri sehari sebelum tanggal yang ditetapkan pemerintah. Tetapi ada keanehan ketika melihat siklus terjadinya perbedaan antara hasil rukyat dan hisab dalam Sidang Isbat. Pra Reformasi, yaitu ketika Indonesia masih dipimpin mantan Presiden Soeharto, pemerintah seakan pro muhammadiyah.
Ketika terjadi perbedaan, NU menjadi oposisi pemerintah penetapan awal bulan yang mereka lakukan beberapa kali berbeda dengan Pemerintah. Tetapi mulai tahun 1998, Muhammadiyah "berbalik" menjadi oposisi karena menentukan awal bulan berbeda dengan pemerintah. Banyak yang mengatakan bahwa Sidang Isbat merupakan penetapan politik, bukan penetapan ilmiah.
Seperti yang dikatakan Mahyudin Nawawi, ahli hisab dari Pesatuan Umat Islam (PUI), dalam makalah yang ia sampaikan pada Seminar Nasional Hisab dan Rukyat di Jakarta pada 2003 yang lalu. Bahkan lebih Radikal lagi, ia mengatakan bahwa sidang isbat sebenarnya hanya agenda dua ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah.
Memang terlihat sekali bahwa dua ormas terbesar di Indonesia itulah yang menjadi trending topic setiap kali akan ada penetuan awal bulan qomariyah. Masalah perseteruan hisab dan rukyah di Indonesia pasti bisa disatukan, tetapi dengan satu syarat: NU dan Muhammadiyah mau berkompromi.
Penentuan awal bulan dengan menggunakan metode yang berdasarkan hukum normatif memang penting. Tetapi sebelum memutuskan metode mana yang lebih tepat dalam konteks keindonesiaan, yang harus lebih diperhatikan adalah tingkat kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat luas akan hasil yang ditetapkan sidang isbat.
Dampak negatif NU dan Muhammadiyah harus mau melihat ke bawah terkait dampak perbedaan awal bulan yang berbeda. Ketika terjadi perbedaan hari raya, hal itu bisa menyerang aspek sosiologis masyarakat. Hal yang paling sederhana adalah mengenai persiapan hari raya. Masyarakat yang telah mempersiapkan masakan untuk idul fitri pada tanggal 29 ramadhan karena berdasarkan kalender jumlah bulan Ramdhan hanya 29 hari, harus menelan kekecewaan karena ternyata bulan tidak terlihat ketika rukyah dilakukan, sehingga pemerintah memutuskan untuk Istikmal.
Masyarakat yang percaya kalau hitungan bulan Ramadhan sampai tanggal 30 berdasarkan kalender yang ada sehingga belum mempersiapkan menu lebaran pun, akan kelabakan ketika mengetahui Idul Fitri diajukan satu hari karena rukyah yang bisa dilihat. Bukti nyata dari dampak negatif perbedaan hari raya adalah penelitian yang dilakukan oleh Zikri, dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Bandar Lampung pada tahun 2003.
Penelitian yang membidik fenomena salah satu desa di kabupaten Tanggamus itu cukup mengejutkan. Terjadi sebuah pelewatan batas agama dan toleransi disana. Ketika terjadi perbedaan hari raya pada idul fitri 2002, mayoritas penduduk melakukan Idul Fitri pada tanggal 5 Desember. Beberapa warga yang mengikuti pendapat bahwa Idul Fitri adalah 6 Desember, "terpaksa" melakukan sholat Ied pada 5 Desember walau mereka saat itu masih berpuasa.
Adapun komunitas yang ingin melaksanakan sholat Ied pada 6 Desember ternyata harus nebeng di desa lain karena masjid desa setempat dikunci oleh komunitas lain yang telah melakukan sholat Ied sehari sebelumnya. Selain menyebabkan dampak sosiologis, perbedaan itu juga bisa menyerang sektor ekonomi sebagian masyarakat menengah ke bawah. Di daerah pedesaan kendal, ada tradisi nyekar ke makam sanak keluarga yang dilakukan pada dua hari terakhir bulan Ramadhan. Hal ini dimanfaatkan masyarakat setempat dengan menjual bunga.
Maka muncullah Pasar Kembang di hari yang sama nyekar bulan Ramadhan dilakukan. Semisal di kalender tertera bahwa hitungan bulan Ramadhan 30 hari. Tetapi berdasarkan hasil Sidang Isbat, hilal bisa dilihat sehingga Ramadhan hanya berjumlah 29 hari.
Hal ini akan membuat pedagang kembang merugi, karena dagangan yang ia beli untuk dijual selama dua hari tidak jadi ia jual karena idul fitri versi sidang Isbat. Rukyah tidak setiap bulan Dalam melakukan Rukyah, baik NU maupun Muhammadiyah, sepakat bahwa rukyah hukumnya Farrdhu Kifayah untuk tiga bulan yang berkaitan dengan ibadah, yaitu Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Sedangkan untuk bulan selain itu hukumnya sunah. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak penulis, apakah rukyah di tiga bulan tersebut bisa dikatakan otentik.
Seharusnya golongan yang menganut mazhab rukyah harus melakukan rukyatul hilal tiap bulan agar hasilnya lebih otentik. Dalam pelaksanaan rukyah, ada tenggang delapan bulan mazhab rukyah tidak melaksanakan rukyah, yaitu antara bulan Dzulhijjah dan Ramadhan
Bisa saja dalam bulan itu, menurut perhitungan hisab yang dilakukan mazhab Rukyah bulan berumur 29 hari, tetapi kalau dilakukan rukyah, bulan belum bisa dilihat. Atau sebaliknya, perhitungan yang dilakukan mazhab rukyah di salah satu dari delapan bulan itu adalah 30 hari, tetapi apabila melakukan rukyah, sebenarnya bulan bisa dilihat.
Akan menjadi pertanyaan apakah rukyah yang dilakukan mazhab rukyah untuk menentukan bulan Ramadhan benar pada tanggal 29 Sya'ban. Kalau ternyata tanggal yang dikira 29 Sya'ban itu ternyata tanggal 28, 30, atau bahkan sebenarnya telah masuk 1 Ramadhan, maka siapa yang harus menanggung dosa tidak berpuasa satu hari dari seluruh orang yang mengikuti fatwa hasil rukyah tersebut? Ada yang mengatakan bahwa kalau rukyah dilakukan tiap bulan, dikhawatirkan hitungan bulan Qomariyah selalu 30 hari karena bulan tidak pernah terlihat.
Tetapi hal itu merupakan hal yang tidak masuk akal. Karena nyatanya, rukyah dalam penentuan awal tiga bulan diatas sering terlihat, dengan catatan hilal berada lebih dari dua derajat diatas ufuk setelah matahari tenggelam. Rasulullah memang pernah bersabda, bahwa ketika seseorang berijtihad tetapi melakukan kesalahan, ia tetap dihargai satu pahala.
Namun dalam konteks kemasyarakatan harus diputuskan mana yang lebih maslahah dari ijtihad mengenai pemilihan metode hisab atau rukyah. Pemerintah harus bisa lebih tegas terkait penentuan awal bulan dan masyarakat.
Selain itu, pimpinan ormas di Indonesia harus lebih legowo dalam menanggapi keputusan pemerintah. Para ormas harus ingat bahwa ketika pemerintah membuat sebuah keputusan, keputusan itu tidak hanya akan dilakukan oleh kepentingan kelompoknya saja, tetapi diterapkan bagi masyarakat yang berada di satu wilayah hukum, dalam konteks ini, wilayah hukum Indoensia.
Sudah saatnya pihak yang berseteru tidak mementingkan ego. Karena dalam hal ini, rakyat kecillah yang menjadi korban. Awal bulan ramadhan 1434 hijriah tahun ini pun berpotensi terjadi penentuan karena tinggi hilal pada tanggal 29 Sya'ban nol koma 17 derajat.
Muhammadiyah sudah pasti telah menentukan bahwa puasa dimulai pada hari Selasa tanggal 9 Juli karena hilal telah berada diatas ufuk pada hari dimana Ijtima' akhir Sya'ban terjadi. Sebaliknya, NU kemungkinan besar akan berpuasa pada hari Rabu. Hal itu dikarenakan berdasarkan kriteria tinggi minimal hilal bisa dilihat adalah dua derajat.
Jadi kecil kemungkinan bulan bisa dilihat yang menyebabkan NU harus melakukan istikmal untuk perhitungan bulan Sya'ban tahun 1434 kali ini. Permasalahan mengenai perbedaan penentuan awal bulan ini harus segera diselesaikan, karena masalah ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat bisa meledak. (**)