Sabtu (31/12/2016)
Opini
Oleh: Hilman Tamimi
Oleh: Hilman Tamimi
SELAMA kurang lebih sepakan, diakhir tahun 2016 ini Pemda Karawang digempur buruh. Hingga kamis malam, 28 Desember 2016, masa buruh terus menghujani Bupati Karawang dr. Cellica Nurrachadiana dengan tuntutannya.
Bersuara lantang, mereka meminta dr Cellica Nurrachadiana segera merevisi upah minimum sektoral kabupaten. Ribuan buruh tak peduli malam telah larut, tak sadar aksinya melumpuhkan akses lalu lintas by pass karawang, mereka tetap pada tuntutannya UMSK Rp 4,2 juta.
Sebelumnya UMSK hanya diangka Rp 3, 7 juta. Akan tetapi, buruh menganggap angka itu tak pantas, bahkan jauh dari harapan. Pertimbangannya dengan biaya hidup yang sudah mulai mahal di Karawang. Menurut buruh angka Rp 4,2 juta perbulan merupakan angka yang ideal bagi pekerja untuk hidup di Karawang.
Meski besaran keputusan sudah ditetapkan dan keputusan sudah diteken. Namun, buruh bersikeras tetap memperjuangkan keinginanya. Bahkan mereka mengancam tidak hanya akan mengeruduk Kantor Pemkab, tapi mereka juga mengancam akan melumpuhkan akses jalan utama hingga akses tol di Karawang bila keinginananya tidak kunjung terpenuhi. Tak hanya turun ke jalan, jalur hukum pun akan mereka tempuh.
Terus diombang-ambingkan gelombang unjuk rasa, namun Karawang dibawah pimpinan dr. Cellica Nurrachadiana dan wakilnya pun goyah. Mereka berdua bergeming, menjawab semua tuntutan buruh. Cellica berorasi di atas mobil komando, ditengah kepungan ribuan buruh. Menandatangani surat keputusan kenaikan UMSK 2017 dan langsung diajukan pada gubernur Jabar.
Sebagai contoh sepanjang tahun 2014 buruh di DKI Jakarta banyak yang melakukan protes akibat dari perusahaan menangguhkan UMP, sebanyak 124 perusahaan di DKI yang menunda penerapan UMP. Akhirnya perusahaan harus membayar karyawan sesuai KHL, tapi Pemprov DKI langsung mengaudit perusahaan-perusahaan tersebut, sebelum perusahaan menunda UMP. Namun, menurut buruh audit tersebut dianggap tidak transparan.
Di sisi yang berbeda buruh juga harus terima jika serikat buruhnya tersebut diaudit, meminta hasil dari audit serikat pekerja. Mereka (Serikat Pekerja) mengumpulkan iuran dari buruh besaran relatif lebih dari Rp 24.000 - Rp 50.000, jika melihat aturan, mereka harus diaudit.
Selama ini, ada kesan kurang fair dalam perjuagan buruh. Perusahaan saja yang diaudit ketika keinginan buruh tidak dipenuhi, tapi serikat buruh luput dari pengauditan, soal iuran Check Off System (COS).
Sejatinya secara terus menerus setiap bulan buruh yang tergabung dalam keanggotaan serikat pekerja wajib menyetor dari gaji pokok selama buruh itu menyandang status karyawan. Sebenarnya bisa saja perusahaan menolak kebijkan COS yang langsung di potong dari slip gaji karyawan. Akan tetapi, perusahaan masih patuh pada aturan yang disepakati bersama. Antara perusahaan dan serikat pekerja.
Keberadaan serikat pekerja didalam perusahaan bagai raja kedua dari si yang punya usaha. Pada akhirnya majikan dipaksa memenuhi keinginan si buruh, tapi si buruh tersebut tidak juga memperbiki kualitas dalam pekerjanya, itu tidak fair dalam kontek bisnis.
Serikat buruh yang bersuara lantang hanya melulu meminta kenaikkan upah saja. Tidak berbicara penghapusan sistem kerja kontrak, pemberangusan serikat apalagi berbicara menguasai alat produksi.
Namun dalam setiap aksinya, pawai buruh disepajang jalan selalu kita liat dengan beragam kedaraan buruh atau pun petinggi serikat pekerja memakai kendaraan brand yang cukup tergolong mewah, jelas Isi perjuangan yang timpang dengan kondisi rill buruh yang ada sehari-hari. (**)