BeritaKarawang.com - Sekarang banyak sekali orang-orang yang melecehkan Islam. Islam itu kehormatan, tidak semata sebagai aturan yang menata tingkah, tapi juga tempat bergantung untuk soal-soal yang semua orang tak berkuasa dalam kapasitas sebagai makhluk ciptaan. Di dalam Islam ada cara hidup benar yang dititahkan Allah SWT.
Begitu kata Kholid Al Kausar, seorang guru SMAN 1 Batujaya. Dia menegaskan, logika-logika akal yang kelewat lepas seringkali membuat banyak manusia tak lagi tahu bagaimana memahami agama Islam sebagai kehormatan. Ada saja orang yang secara ilmu nampak pintar, tetapi tak kunjung mengerti arti Islam sebagai kehormatan.
Maka orang-orang itu dengan lantang menjadi pembela para penista kehormatan Islam. Ketika ada yang mencederai kemuliaan Islam, dengan membuat adonan campur aduk secara keyakinan maupun ajaran, orang-orang itu dengan gigih membela mereka. Alasannya selalu klise, bahwa negara tidak boleh mengintervensi kebebasan berkeyakinan.
Padahal, bukan itu pokok soalnya. Masalahnya, bila mau membuat agama baru jangan mengatas namakan Islam. Lucunya, dalam urusan lain yang seharusnya agama menjadi pengaturnya, orang-orang itu dengan gigih mengajukan draft undang-undang.
Mereka gigih agar negara mengintervensi. Poligami yang sah secara Islam, akan mereka buat sebagai tindakan pidana. Perkawinan sejenis seperti homosex dan lesbiam yang dikutuk Islam mereka perjuangkan agar bisa legal melalui undang-undang. Padahal urusan perkawinan, di manapun, harus merujuk kepada keyakinan agama.
Ketika Majelis Ulama mengeluarkan fatwa haram tentang rokok, orang-orang itu pula yang mencibir, bicara kesana kemari membenturkan semua itu dengan realitas di masyarakat. Seakan menjadi orang yang paling simpati dengan nasib petani tembakau. Padahal menurut par pengamat, perolehan negara dari cukai tembakau pun kian hari kian merosot.
Tetapi, ketika ada fenomena aneh di masyarakat yang memburu Mbah Cilik Ponari dengan batu saktinya yang jelas syirik dan melecehkan ilmu kedokteran, orang-orang itu dengan mudah melemparkan kesalahan kepada tokoh agama, menuding Ulama sebagai penyebab karena dianggap gagal mendidik masyarakat.
"Akan kita temukan banyak sekali intelektual, ketika sudah berurusan dengan agama, mereka berubah menjadi Komedian Intelektual. Mereka memandang agama tanpa rasa hormat. Agama Islam dianggap hanya tata tertib yang bebas tafsir dan bisa leluasa dicocok-cocokan dengan selera yang mana saja," jelasnya.
Sejatinya, lanjut Kholid, orang-orang itu tak benar-benar merasa perlu pada agama. Agama bagi mereka hanya seremoni. Bila pun di sebagian hari ada lapaz-lapaz yang mereka rafalkan, itu tak pernah mampu melampaui kerongkongan. Keyakinan bagi mereka hanya lintasan sekelebatan.
"Islam itu kehormatan, tidak saja karena sumbernya dari Dzat Yang Maha Terhormat, tapi juga tempat kita melabuhkan keyakinan. Sebab secara bawaan dasar kita membutuhkan nilai-nilai yang kita agungkan, kita puji dan kita sakralkan," tegasnya. (*)