Oleh: Kholid Al Kautsar
Pengajar SMAN 1 Batujaya, Kabupaten Karawang
SEJARAH mengabadikan sebuah kisah, Ibnul Alqalami sebagai simbol kekalahan dan penghianatan, simbol penghilangan identitas umat Islam. Dialah penghianat besar yang membuat Baghdad hancur akibat diserbu tentara Mongol yang dipimpin Hulaku.
Alqami sudah empat belas tahun menjadi menteri pilihan di masa Khalifah Al Mustashim. Ia dihormati, disegani dan diberi kedudukan yang tak pernah didapat menteri lain, tapi kebenciannya kepada orang Sunni membuat kehormatannya tak ada artinya. Ia berusaha keras untuk bisa mengakhiri kekuasaan Bani Abbasiyah.
Segala strategi dilakukan Alqami, yang terparah adalah membuat kendor kemampuan tempur pasukan Islam, mengkorupsi gaji prajurit, menghapus nama-nama prajurit, mengendurkan latihan militer dan melarang masyarakat melawan tentara Mongol. Tentara Islam yang semula berjumlah hampir seratus ribu orang, menjadi tidak lebih dari sepuluh ribu orang.
Di saat yg sama ia menyarankan sang Khalifah untuk keluar dari Baghdad menyongsong Hulaku untuk damai dan menawarkan separuh pendapatan Baghdad. Sedangkan ia pun mengatakan pada Hulaku, bila Khalifah datang minta damai jangan diterima. Tak ubahnya Alqami ini bermuka dua, sebab dia menganggap kekuasaannya tak sempurna jika masih ada Al Mustashim.
Kemudian, khalifah keluar bersama keluarganya, para ulama, ahli Al-Quran dan orang-orang penting, menyongsong harapan damai dari peperangan. Khalifah tidak menyadari bahwa kematian menunggu di lorong penghianatan dari orang dekatnya. Dan dengan mudah Hulaku membunuh Khalifah dan rombongannya.
Setelah itu tentara Mongol meluluh lantakan Baghdad, membunuh satu juta ummat Islam, menumpahkan arak di masjid, membunuh para imam masjid. Ahli sajarah menulis, pasukan Mongol menyembelih Ummat Islam seperti menyembelih domba, mayat-mayat bergelimpangan dan membusuk.
Beberapa hari setelah kebengisan itu, Ibnul Alqami menunggang kuda keliling kota, tiba-tiba seorang wanita menegur. "Wahai Ibnul Alqami, apakah seperti ini perlakuan bani Abbasiyah terhadapmu,". Perkataan itu sangat mengejutkan, ia teringat empat belas tahun Bani Abbasiyah memberinya kebaikan dan kehormatan, tapi ia membalasnya dengan kekejian. Alqami mengurung diri, memendam sesal yang tak ada artinya.
Kemudian, Alqami pun mati membawa mimpinya tentang kemenangan yang berujung kekalahan. Membawa obsesi kemuliaan yang mewujud dalam kehinaan. Begitulah Ibnul Alqami memilih jalan kekalahan.
Kisah orang yg rakus, penghianat dan ambisius pada kekuasaan seperti Alqami adalah potret seseorang yang mengiringi kehancuran. Pada setiap peristiwa kolektif selalu ada peran seseorang. Pada setiap potongan waktu tentunya selalu ada perilaku seperti Ibnul Alqami. Dan pada setiap individu pun ada potensi perilaku Ibnul Alqami. Menghianati dirinya sendiri, bersekongkol dengan sumber kerusakan dan mengalahkan diri sendiri.
Jika dikupas identitas diri seperti seorang Alqami, ia malas dan gamang menjadi muslim, ia rela menjual identitas kemuslimannya dengan harga murah, ia menjadi muslim yg tidak berideologi Islam, menukar identitasnya dengan ideologi kapitalis, liberalis, komunis, pancasilais dan lainnya, yang lebih parah menjadi penghianat Islam.
Jika kalah dan menang adalah kisah tentang peneguhan jati diri, tentunya kekalahan pertama selalu mewujud di ruang pertarungan identitas. Di ruang ini sudah banyak yang kalah, menghianati jati diri. Dan di sini, identitas lebih ke soal subtansial dan identitas keyakinan. Ketika kita menjadi muslim, secara sadar kita harus memenangkan identitas kemusliman kita dan memenangkan jati diri kemusliman.
Orang yg kalah secara jati diri tidak memiliki apa-apa yang dijunjung tinggi sebagai nilai kehormatan. Kehormatan itu yang dijunjung tinggi oleh Islam, menjadi muslim berideologi Islam, menegakkan syariah Islam, adil dan cerdas. Juga menjunjung kebersihan hati, pemberani, pembelajar tak kenal henti, tak putus asa dan selalu tawadu. (spn)