KARAWANG NEWS - Sekolah gratis tidak sepenuhnya menjamin masyarakat terbebas dari biaya pendidikan, banyak orang tua siswa yang pontang-panting mencukupi kebutuhan pendidikan putra-putrinya bahkan ada diantara mereka harus rela menjual atau menggadaikan peralatan rumah tangga demi anaknya.
Seperti dikatakan Adih (52) warga Pedes, dia harus meminjam uang untuk menyekolahkan anaknya, bahkan diantara tetangganya ada yang kesulitan memasukan anaknya ke sekolah. Kenyataannya, memang banyak orang tua terlena dan memuji pemerintah dengan iklan-iklan pelayana pendidikan gratis, tapi harapan itu pupus ketika banyak sekolah tetap membebankan biaya sekolah.
Dana pendidikan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dikeluarkan pemerintah untuk daerah kabupaten tercatat Rp 397 ribu/siswa setahun untuk SD, sedangkan untuk SMP sebesar Rp 570 ribu/siswa setahun. Dengan demikian, orang tua siswa masih wajib mengeluarkan jutaan rupiah per tahun.
Menanggapi hal ini, anggota Komis D DPRD Fraksi PDI Perjuangan Kabupaten Karawang, H. Tono Bahtiar menegaskan, penerimaan siswa baru maupun pendaftaran ulang sekolah di Kabupaten Karawang ini sebuah fenomena baru, ini terlihat setelah Komisi D Kabupaten Karawang melakukan inspeksi mendadak ke setiap sekolah dan mewawancarai orang tua siswa, dari situ terlihat jelas terkadi hal yang sangat memprihatinkan, sekolah tetap memungut biaya-biaya yang membebankan masyarakat.
Diantaranya memungut biaya daftar ulang lebih dari kewajaran, ini terjadi di beberapa sekolah di Kabupaten Karawang memungut uang sebesar Rp 190 ribu bagi siswa yang naik ke kelas II dan Rp 210 ribu bagi siswa yang naik ke kelas III SMPN. "Ini sama saja mencederai dunia pendidikan yang notabene sudah menjadi kebijakan umum Pemerintah Kabupaten, provinsi dan pusat," ucapnya.
Komisi D Kabupaten Karawang, lanjut Tono, akan mengirimnkan nota dinas kepada Ketua DPRD untuk dilanjutkan ke Bupati Karawang tentang pungutan yang tidak wajar di beberapa kecamatan di kabupaten ini. Diakui Tono, masyarakat menyekolahkan anaknya dengan susah payah, ada diantaranya yang sengaja menunggu BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan PKH (Program Keluarga Harapan) untuk bisa melunasi biaya sekolah, ada juga yang menjual beras reskin untuk membeli peralatan sekolah putra-putrinya.
"Mereka sudah gembira sekolah gratis, tapi mereka harus membayar biaya sekolah yang sebenarnya sama saja dengan praktek pungutan biaya sekolah. Saya sebagai anggota DPRD yang membidangi pendidikan sangat menyayangkan tindakan main lempar antara pihak sekolah dengan komite. Bayangkan kalau satu siswa Rp 100 ribu, kalau semuanya 400 siswa berapa dana yang terkumpul," ujarnya. (*)