KARAWANG NEWS - Gelombang laut jawa yang dulu dikenal tenang dalam beberapa tahun terakhir ini kian mengganas. Hempasan gelombang air yang menghantam terasa tambah besar menggerus bibir pantai hingga terjadi abrasi. Demikian dijelaskan pemerhati lingkungan Karawang, Kholid Al Kautsar kepada, Kamis (16/7) siang.
Dijelaskannya, laut sekarang sulit diprediksi, laut pasang biasanya kalau bulan purnama dan badai pun sangat jarang terjadi, tapi sekarang dalam sebulan air laut pasang bisa lebih dari lima kali dan badai bisa setiap saat datang, tak perduli malam, sore, siang atau pagi, ada hujan atau pun tidak.
Abrasi di sepanjang pantai Karawang dirasakan semakin mengkhawatirkan. Sedikitnya ada dua belas desa yang tergerus abrasi tersebar di sembilan kecamatan pesisir, yakni di Pakisjaya, Batujaya, Cibuaya, Pedes, Cilebar, Tirtajaya, Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan, Tirtajaya, Cibuaya dan Cilebar paling parah kerusakan pantainya akibat abrasi. Hasil penelitian Siswa Pecinta Alam SMA Negeri 1 Batujaya, tercatat garis pantai yang tergerus hingga 400 meter di pantai Sarakan, desa Tambaksari - Tirtajaya, sehingga penduduk yang tinggal di pantai itu harus direlokasi.
Di pantai Pisangan Cibuaya kurang lebih 200 meter dan di pantai Cipucuk Cilebar sekira 185 meter. Minimnya vegetasi mangrove menjadi penyebab utama abrasi pantai, diperparah lagi karena ada dampak pemanasan global (Global Warming). Di Kabupaten Karawang, sebagian besar hutan mangrove dibabat habis dan diubah menjadi tambak. Setiap ada penanaman mangrove, tanaman itu dicabuti lagi oleh masyarakat, karena mangrove dianggap mengganggu dan mempersempit lahan tambak.
Kerusakan akibat abrasi ini sangat fatal, tidak hanya rumah di pesisir yang tergerus, sarana jalan pun terputus, seperti jalan yang menghubungkan antara Pedes dan Cipucuk. Sebagian besar masyarakat pun tampaknya kurang bertanggung jawab dengan lingkungan pesisir. Bila pemukiman tergerus lautan, yang dilakukan hanya pindah rumah, tanpa muncul kesadaran untuk mempertahankan pantai dari gempuran abrasi, seperti yang terjadi di pantai sarakan Tirtajaya.
Setelah mereka pindah rumah, tak ada upaya apa pun untuk memulihkan dan mempertahankan pantai. Padahal mereka membutuhkan pantai sebagai lahan usaha. Sejauh ini, masyarakat menginginkan pemerintah agar mengantisipasi abrasi dengan membangun infrastruktur fisik seperti break-water, pemecah gelombang, penahan gelombang dan sejenisnya, yang tentunya membutuhkan dana ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah.
Namun jika dikaji lebih dalam lagi, upaya pembuatan break water akan sia-sia. Seperti break water yang dibangun di sepanjang pantura jawa barat, dari Cirebon hingga Bekasi, nyaris tidak ada yang berusia lama. Kerusakan terjadi setiap tahun, dan itu berarti harus kembali diperbaiki dengan menelan dana miliaran rupiah lagi. Break water dan fasilitas fisik lainnya itu tidak efektif. Logikanya saja sudah keliru, yakni menahan gelombang. Gelombang itu tak bisa dicegah, yang mungkin dilakukan adalah dengan mengendalikannya.
Ada yang lebih murah dan efektif, yakni dilakukan penghijauan di sepanjang pantai dengan penanaman mangrove hingga berbentuk green belt atau sabuk hijau di sepanjang pantai. Tentu saja, jenis-jenis mangrove yang ditanam harus disesuaikan dengan karakter pantai. Sembarang menanam mangrove juga akan sia-sia. Masing-masing pantai memiliki karakteristik, dan itu membutuhkan jenis-jenis mangrove yang khusus pula.
"Namun yang jadi masalah, justru rendahnya kesadaran masyarakat pesisir menjadikan kawasan hijau di pantai hancur tanpa bisa dicegah. Maka harus dikampanyekan pentingnya hutan mangrove. Hutan mangrove itu bukan penghalang, justru penyelamat," jelasnya. (*)