BATUJAYA, RAKA - Sejak proses pemilu 2009 berjalan, pemantau asing berduyun-duyun ke Indonesia. Berdasarkan akreditasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak tujuh lembaga yang mengawasi pemilu di negeri ini. Demikian kata pengamat politik juga guru SMAN 1 Batujaya, Kholid Al Kautsar kepada RAKA, Minggu (26/4) siang.
Ketujuh lembaga itu diantaranya National Democratic Institute (NDI), International Foundation For Electoral System (IFES), Friedrich Naumann Stiftung fur die Freiheit (FNS), Asian Network for Free Elections Foundation, Australia Election Commission, The Carter Center, dan International Refublican Institute(IRI).
"Apa pentingnya banyak pemantau asing datang ke Indonesia jika mereka sekedar wisata, jelas itu tidak mungkin mereka lakukan, karena kedatangan mereka adalah menghitung jumlah suara dan menilai kejujurannya. Memang, rasanya kok sederhana sekali. Pasti ini ada kepentingan lain yang lebih besar dibalik pemilu. Mereka tidak hanya masuk ke Indonesia dengan leluasa, mereka pun memberi bantuan dana bagi Indonesia. Bahkan mereka menyebut bantuan itu sebagai hibah, artinya pemberian saja, tapi adakah pemberian yang tanpa pamrih. Sedangkan mereka sendri mengatakan, tidak ada makan siang yang gratis," ungkapnya.
Untuk pemilu 2009 ini, kata Kholid, Indonesia mendapat bantuan sebesar 37,5 juta dolar Amerika. Dana itu digunakan bagi pemilu mulai dari proses sosialirasi hingga usai. Pendanaan itu dikoordinasikan oleh United Nation Development Programme (UNDP). Dana itu berasal dari berbagai negara donor, di antaranya Inggris, Belanda, Spanyol, Amerika Serikat dan Australia. Sebagian dana tersebut disalurkan ke LSM guna sosialisasi Pemilu 2009, melalui proses seleksi yang ketat dari 584 proposal yang diajukan.
Di luar bantuan resmi itu, tidak tertutup kemungkinan ada bantuan tidak resmi. Amien Rais menjelang Pemilu 2004 pernah mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditawari sejumlah uang oleh kalangan di Amerika sebagai modal untuk maju jadi capres. Selain memberi bantuan dana, pihak asing turun langsung ke lapangan untuk menjajaki siapa saja yang tepat untuk memimpin negeri ini sesuai dengan keinginan mereka. "Yang cukup kentara adalah Duta Besar Inggris Martin Hatfull. Ia mengaku telah menyambangi sejumlah parpol peserta Pemilu 2009. Tak ada yang tahu apa isi pembicaraan tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, lanjut Kholid, ketika ke Amerika Serikat, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar diterima oleh Joe Biden yang baru 16 hari menjabat Wakil Presiden AS. JK juga bertemu dengan Direktur Intelijen Nasional AS Dennis Blair, Senator James Webb dari Partai Demokrat, dan Christopher Bond dari Partai Republik. Pertemuan seperti ini bisa membawa arti tersendiri yang sangat besar bagi Golkar dan Ketua Umumnya.
Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan modus yang sama. Mendekati pelaksanaan Pemilu 2004, Indonesia kedatangan tamu asing yaitu Jimmy Carter dan Collin Powell. Carter datang dengan istrinya Rosalynn serta mantan Perdana Menteri Thailand Chuan Leekpai ke Indonesia untuk memimpin para pemantau dari The Carter Center. Selain memantau, Carter juga ikut mengecek kesiapan KPU dalam penyelenggaraan pemilu preriden dan juga mengenai hubungan KPU dengan Panwaslu. Ia pun bertemu dengan para calon presiden dan wakil presiden saat itu. Sementara pada saat Pemilu 2004, Menlu AS Collin Powell bertemu dengan salah seorang capres RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyaknya campur tangan asing dengan berbagai modus itu membuat khawatir berbagai pihak. Intervensi asing dalam bentuk apa pun termasuk dalam bentuk uang dan pakar tidak bisa dibenarkan di dalam penyelenggaraan pemilu. Bantuan asing untuk pemilu merupakan global grand strategy Amerika serikat. Indonesia akan dipaksa setuju dengan proses globalisasi yang diusung negara-negara donor. "Kita memang tidak anti bantuan asing, tapi bukan tidak mungkin bantuan tersebut bagian dari - 'kuda troya' politik, artinya di balik pekerjaan yang besar terdapat operasi intelijen," kata Kholid. (spn)